Visi

Mata yang seluruhnya sehat belum tentu mampu melihat. Telinga yang normal-normal saja tidak selalu bisa mendengarkan dunia sekitarnya. Mulut yang tanpa cacat tidak dijamin dapat menyatakan pendapat.

Seorang teman mengeluh karena merasa kalah dalam memperjuangkan kebenaran di kantornya. Yang menang justru para pendukung kepalsuan dan kebohongan. Bukankah kelompok kedua ini pendukung utama pernyataan alinea di atas? Memang “The truth will set you free, but first it will make you miserable,” kata James A Garfield.

Ternyata melihat, mendengarkan, dan berbicara menuntut kemampuan dan kemauan lebih dari sekedar memiliki panca indera yang lengkap atau nyaris sempurna.

Melihat membutuhkan visi. Artinya, menjangkau yang tidak tertangkap oleh mata. Ralph Waldo Emerson berpesan:”Never lose an opportunity of seeing anything beautiful, for beauty is God’s handwriting.”

Betapa sering aku menutup mata, telinga, dan mulutku. Baru setelah beberapa tahun tinggal di Roma aku mengetahui nama gelandangan dari Maroko (Idris) yang sering nongkrong di depan rumah. Setelah aku menyapa dan mulai berbincang-bincang, kini setiap kali bertemu kami saling menyapa. Idris menjadi teman.

Dunia yang damai dan aman rupanya itu bisa diawali dengan berteman/bersahabat dengan orang-orang terdekat: anggota keluarga, tetangga, dan sesama warga negara. Ya, dengan melihat secara cakap, mendengarkan, dan berdialog akrab.

Beata Ibu Teresa mempunyai kiatnya, yakni senyum. Dia berkata:”Peace begins with a smile”. Mulut tersenyum meredakan kecurigaan dan menghapus kebencian.