PEKA

Hari ini kami merayakan misa bersama para tamu komunitas yang berasal dari Spanyol, Amerika Latin, Inggris dan Amerika, Italia. Ini memerlukan kepekaan. Misalnya, menghindarkan kesan bahwa para tamu yang datang diabaikan.

Langkah yang kami tempuh antara menggunakan minimal tiga bahasa itu. Bacaan pertama dalam bahasa Spanyol, bacaan kedua dalam bahasa Inggris, dan Injil dibacakan dalam bahasa Italia.

Kita hidup menggunakan pelbagai macam bahasa. Misalnya, bahasa mental (pemikiran/pendapat), bahasa perasaan (emosi), dan bahasa tubuh. Bukankah kaum wanita berbahasa secara berbeda dari kaum pria? Bukankah bahasa anak-anak tidak sama dengan bahasa orangtua dan kaum dewasa? Bukankah perbedaan budaya dan adat-istiadat ikut menciptakan macam-macam bahasa?

Dalam berkomunikasi diperlukan kepekaan. Bukan hanya untuk memahami bahasa verbal, tetapi juga bahasa mental, bahasa rasa, dan bahasa tubuh.

Betapa sering aku mengandaikan bahwa orang lain secara gampang mengetahui pemikiranku dengan berkata:”Menurut pendapat saya itu mudah.” Betapa kerap aku gagal menempatkan perasaanku pada perasaan sesama. Berulang-kali aku mengulangi sikap tidak peka terhadap bahasa tubuh dari orang lain.

Berkomunikasi memerlukan kepekaan (compassion). Dari siapa kita bisa belajar? Dari guru kepekaan sekaligus contoh konkrit kasih. Bukankah Yesus berhasil membawa misi penyelamatan Allah Bapa-Nya karena dia memiliki kepekaan untuk memahami dan kasih untuk menyambut mereka yang sering disalahmengerti dan disingkirkan (orang kecil dan miskin)?

Benar, hidup bersama tanpa compassion kerap gagal menumbuhkan kerukunan dan kedamaian.

Roma, 23 September 2012