HIMA

Perjalanan kita di dunia ini diwarnai dengan pelbagai paradoks. Ada putih-hitam, terang-gelap, suka-duka, dan sukses-gagal. Dualisme itu sering menjebak, seolah-olah mereka terpisah dan bertentangan. Yang positif terlepas dari yang negatif. Benarkah?

Apakah gelap bisa dipisahkan dari terang? Bukankah terang membawa bayangan (shadow) yang gelap? Bukahkah kita mengalami sukacita secara maksimal setelah rela merasakan dukacita? Banyak yang mengatakan bahwa kegagalan hanyalah sukses yang tertunda.

Di antara paradoks itu yang paling menyolok adalah hidup dan mati (HIMA). Keduanya merupakan satu kesatuan. Bukan untuk dipertentangkan satu sama lain, tetapi disatukan.

Dengan siap untuk mati dan melepaskan (letting go) orang akan hidup, tumbuh, berkembang dan menghasilkan buah. Untuk bisa terus menghirup nafas, orang harus membuang nafas.

Hidup di dunia ini memang bersifat sementara. Kematian definitif menegaskan hal itu. Menarik bahwa dengan rela melepaskan (mati terhadap) yang duniawi orang akan dibawa masuk ke dalam alam abadi. Di sini mati berarti memasuki kehidupan baru. Inilah paradoksnya hidup-mati: kita masuk ke dalam kebangkitan hanya melalui kematian.

Apakah kita sungguh ingin hidup? Jawabannya tampak dalam sejauh mana kita siap mati. Mereka yang bersedia mati (dalam segala hal) akan memasuki hidup yang mencakup semua. Berpegang terus pada yang duniawi membuat kita kehilangan yang surgawi.

Hidup terasa indah dan membahagiakan bukan dalam mempertahankan, tetapi dalam melepaskan. Dalam hal-hal rohani pun melepaskan merupakan syarat bagi pertumbuhan. Santo Yohanes dari Salib menggarisbawahi hal itu ketika berkata:“The fly that clings to honey hinders its flight, and the soul that allows itself attachment to spiritual sweetness hinders its own liberty and contemplation.” (Lalat yang lekat pada madu terhalang untuk terbang, dan jiwa yang lekat pada kenikmatan rohani menghambat kebebasan dan kontemplasi).

Universitas Katolik Widya Karya, Malang

30 Juni 2016