Perasaan kosong bisa menyergap siapa pun. Tanpa diundang dia datang. Walau tidak suka, orang mesti menerimanya.
Di tengah jadwal yang padat aku sering disergap perasaan kosong. Di antara jutaan pengunjung mall terdapat orang-orang yang sebenarnya hidupnya kosong. Mereka mencoba lari dari rasa kosong yang sulit dicerna lalu menenggelamkan diri di tengah keramaian.
Rasa kosong itu tidak hanya muncul setelah seseorang mengalami kegagalan dan kecewa. Di tengah sukses besar pun orang tiba-tiba bisa diserang perasaan itu.
Nabi Elia yang baru saja memenangkan pertempuran menghadapi 450 nabi Baal dicekam pula perasaan kosong. Dia harus melarikan diri, bersembunyi dan ingin mati (1 Raj 19:4b).
Dia menemukan makna diri lagi dalam kekosongan hatinya, tatkala semangatnya hancur dan niatnya seolah menuntutn masuk ke dalam kubur. Dalam hati dan pikiran yang tidak dapat dikendalikan oleh daya manusiawi nabi Elia merasakan Allah mengisi dirinya dan memulihkan kembali makna hidupnya (1 Raj 19:7b).
Ternyata, rasa kosong memiliki makna dan berguna. Bukankah hanya tangan kosong yang dapat menerima pemberian? Bukankah ke dalam gelas yang penuh kita tidak dapat mengisikan sesuatu lagi?
Jiwa kosong tak terisi kembali ketika ditinggal lari atau diimbangi dengan kompensasi, tetapi hanya bisa diterima dan dihadapi. Tatkala merasa diri sedang kosong aku duduk diam, berhenti dari segala aktivitas. Kulepaskan semua pemikiran dan rencana berdasar perhitungan manusiawi. Aku masuk ke dalamnya; lalu menemukan makna. Tidak perlu menakutinya karena sudah di dalamnya. Sering inspirasi baru muncul dari sana.
Kehidupan modern yang super sibuk memaksa orang tenggelam dalam aktivitasnya. Mereka takut berhenti sejenak menghadapi kekosongan diri. Semakin ditakuti dan dihindari, semakin menghantui. Padahal, semakin diselami rasa kosong itu semakin mengungkapkan bahwa hidup ini sungguh berarti. Kekosongan (suwung) itu bukan kehampaan.
Universitas Katolik Widya Karya, Malang
20 Juli 2016
Hari Raya Nabi Elia, Bapa para Karmelit