Pelbagai bidang kehidupan, mulai dari agama hingga bisnis pada dekade terakhir ini berminat terhadap spiritualitas. Sebelumnya orang mengira spiritualitas itu barang asing karena dipandang sebagai sesuatu yang abstrak dan amat rohani.
Ternyata, spiritualitas itu berkaitan dengan koneksitas atau hubungan. Bahasa lainnya relasi, kesatuan atau (saling) keterikatan. Memang, manusia hanya bisa hidup, tumbuh dan menghasilkan buah pada saat terkoneksi. Pertama, terkoneksi dengan Allah, sumber kehidupan. Kedua, memiliki relasi dengan sesamanya. Ketiga, berhubungan secara harmonis dengan lingkungan hidupnya. Akhirnya, akrab dan menyatu dengan dirinya sendiri.
Celakanya, banyak orang hidup dalam isolasi. Mereka menyukai yang eksklusif (mode baju, perumahan, sekolah, penampilan dan lain-lain). Bukankah berpikir dan bertindak eksklusif hanyalah mengurung diri sendiri menuju ke mati? Lebih celaka lagi, ada pula agama yang getol mempromosikan mentalitas dan corak hidup eksklusif. Masuk akal, dalam situasi demikian agama mudah memicu ketegangan dan konflik; bahkan perang. Eksklusivisme adalah mati dan hanya membangun budaya kematian.
Sebaliknya, spiritualitas (berbeda dari agama) bersifat inklusif. Allah, Sang sumber spiritualitas ingin selalu ber-relasi dan merangkul manusia. Mengapa? Karena Allah adalah kasih. Karenanya, selalu menyatukan.
Sukses Presiden Jokowi ditopang oleh spiritualitasnya yang mendalam. Pertama, beliau mempunyai hubungan erat dengan Allah yang diimaninya. Itu bukan hanya tampak dalam ritual keagamaannya, tetapi dari pola pikir dan perilakunya. Kedua, Presiden Jokowi sangat piawai membangun relasi. Kendati dijelek-jelekkan; bahkan difitnah dan dihina, beliau memaafkan. Bukankah cinta sejati paling tampak dalam pengampunan? Ketiga, Presiden Jokowi sangat mencintai lingkungannya. Karena itu, kebijakannya antara lain berfokus pada pertanian. Hanya dengan mencintai pertanian yang menghasilkan sumber makanan, penopang hidup, manusia Indonesia akan bertahan. Bukankah udara panas dan bencana alam sebagian terjadi karena perilaku manusia yang tidak mencintai dan memelihara alam? Akhirnya, Presiden Jokowi adalah pribadi yang akrab dengan diri sendiri. Cara beliau mengendalikan diri menghadapi segala tantangan dari luar menampakkan betapa ke dalam amat matang secara rohani.
Kita bersyukur melihat perkembangan sosial-politik-ekonomi kita menunjukkan gejala dan arah yang sangat positif. Semua tidak lepas dari kematangan rohani pemimpin nomor satu negeri ini. Kalau satu orang saja bisa membawa perubahan begitu besar, betapa hebat jika semua orang Indonesia melakukannya.
Apakah aku sungguh beriman dan menyatukan hidupku dengan Tuhan? Apakah aku mencintai sesama di sekitarku (di rumah, tempat kerja dan lingkungan)? Apakah aku peduli memelihara lingkungan hidupku? Sejauh mana aku mencintai dan menerima diriku sehingga aku mudah menerima semua yang bukan diriku? Jawabannya menunjukkan kematangan kita dalam menghayati spiritualitas.
Malang, 5 November 2014