Mbuletisme

Orang Barat merumuskan sistem dan cara pikir dalam filsafat. Misalnya, idealisme, realisme, eksistensialisme, pragmatisme, kapitalisme dan lain-lain.

Filsafat itu dirumuskan, diajarkan dan dihayati melalui proses yang panjang sampai menjadi kebiasaan (habitus).  Pengaruhnya amat kuat dan menjiwai seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan pendidikan.

Pengaruh filsafat mereka menyebar ke seluruh dunia. Misalnya, kapitalisme yang kini merasuki hampir seluruh warga dunia.

Banyak orang Indonesia tidak mau ketinggalan. Mereka menciptakan juga aliran filsafat baru, yakni MBULETISME. Salah satu cirinya: kalau bisa dibuat sulit, kenapa dipermudah. Urusan yang sebenarnya bisa beres dalam waktu singkat dan cepat ditangani secara lambat. Perkara yang dasar hukum penyelesaiannya sudah pasti diperdebatkan ke sana ke mari dengan alasan yang dicari-cari.

Ironis, ketika pemerintah Jokowi memangkas prosedur perizinan melawan MBULETISME, wakil rakyat justru gencar mendukung filsafat itu. Penanganan kasus pencatutan nama presiden di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mencerminkan MBULETISME ini.

Mentalitas MBULETISME ini tumbuh subur karena beberapa alasan. Pertama, sulit berterus-terang karena sikap itu dianggap kurang sopan dan melanggar tata-krama. Kedua, tidak konsisten terhadap peraturan; suka menerobos dan cari solusi murah. Ketiga, tidak mau lelah (malas) yang dilengkapi dengan pikiran cepat lupa sehingga banyak perkara sangat serius-fundamental menguap. Akhirnya, melepaskan yang esensial-fundamental demi hal-hal remeh, cerminan mental kadal. Integritas telah lenyap.

Berbeda dari filsafat Barat yang mempengaruhi warga dunia, MBULETISME tidak laku diekspor. Menyedihkan, filsafat ini membuat bangsa kita kalah bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. (MEA) yang taat asas dan anti MBULETISME.

Albertus Herwanta