Patrick yang belum berusia lima tahun sering mengganggu ibunya dengan pelbagai pertanyaan yang sulit dicari jawabannya. Salah satu pertanyaannya: “Kenapa orang menikah?”
Dia kiranya tidak mengharapkan jawaban ilmiah dan sangat masuk akal. Walau demikian, ada baiknya suami-isteri merenungkan kembali makna pernikahan.
Jawaban atas pertanyaan itu tentu beragam: bisa dangkal, bisa pula sangat mendalam. Yang jelas pernikahan yang tepat dan baik mesti didukung oleh rasa cinta dari keduabelah pihak. Tanpa rasa cinta sejati sulit mempertahankan keluarga yang abadi.
Pernikahan juga menjadi jalan untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Bukankah pria menemukan keutuhan dalam wanita dan sebaliknya (Mat 19:1-6)? Pernikahan memang karya ilahi, bukan semata-mata keinginan manusiawi.
Bahkan pernikahan merupakan partisipasi manusia dalam Sumber hidup ilahi dan undangan untuk masuk ke dalam misteri hidup yang lebih besar. “Masculinity and femininity tend by their very nature to participate in the Source of love through fatherhood and motherhood,” kata Carl Anderson dalam Called to love. Dia juga menambahkan:”The call to love comes not only from our human beloved but from the Source of Love who invites us to enter into greater communion with him through our love for our human love.”
Pernikahan akan bertahan jika ditopang cinta sejati dan selalu mengambil bagian dari kasih ilahi. Apapun tantangannya, jika pasangan suami-isteri selalu bersumber pada kasih ilahi, mereka akan saling mencintai. Di sinilah kekuatan sejati relasi suami-isteri.
Patrick tidak membutuhkan uraian ini. Tapi mereka yang sudah menikah mungkin bisa belajar sesuatu hari ini.