Ketika sudah melewati yang secara objektif sungguh diperlukan tambahan apapun tidak banyak manfaatnya. Bahkan semakin banyak ditambah semakin menurun tingkat kepuasan yang diperolehnya. Ujungnya bisa jadi kekecewaan berlipat-lipat.
Suatu saat orang mesti menerima garis batas yang tidak bisa dilewatinya; lebih-lebih hanya dengan menggunakan daya kemampuan manusiawinya.
Selama diijinkan dan memungkinkan maunya aku menggunakan pemikiran sebanyak mungkin untuk memahami hidup ini dan menggunakan seluruh waktu dengan macam-macam kesibukan. Apa daya; pribadi manusia memang terbatas. Ketika aku memaksakannya yang aku peroleh bukan kepuasan, tetapi kekecewaan. Dalam situasi demikian makin membuat diri sibuk, makin kosong dibuatnya hidup ini.
Dalam beriman dan beragama pun orang sering berhadapan dengan batas itu. Tidak mungkin semua dipahami dengan akal budi. Tatkala dipaksakan, yang muncul adalah krisis. Bukankah banyak orang meninggalkan agama (dan Tuhan) karena merasa diri tidak mengerti akan rencana Allah?
Abraham Joshua Heschel pernah menulis bahwa krisis agama antara lain berasal dari rasionalisme para penganutnya. Mau memahami segalanya dengan akal-budi. “Sesuatu yang tidak bisa dipahami akal budi dianggap tidak ada,” demikian kurang lebih argumen pengikut rasionalisme.
Rabbi Yahudi di atas mengajak orang beriman/beragama untuk memahami hidup sebagai sesuatu yang penuh misteri dan mengundang rasa kagum (tremendum et fascinosum). Dengan demikian kita menempatkan diri di bawah kebesaran ilahi.
Hidup tampak indah tatkala orang menyadari diri terbatas dan membiarkan dirinya dipenuhi kasih tanpa batas dari Allah. Mengandalkan diri yang terbatas mengundang kekecewaan. Sementara membiarkan Yang Mahacinta memenuhi diri niscaya orang boleh mengharapkan rasa bahagia.